Sebagaimana yang dirumuskan oleh Pfiffner dan
Presthus pada tahun 1967, Administrasi publik adalah suatu disiplin ilmu
yang secara khusus mempelajari cara-cara menerapkan nilai-nilai politik. Definisi ini sejalan dengan gagasan awal yang disampaikan oleh Woodrow Wilson
pada tahun 1988 yang diyakini sebagai orang yang menginspirasi lahirnya
cabang ilmu administrasi publik modern di Negara Amerika. Wilson
menyatakan bahwa ilmu administrasi publik adalah produk dari
perkembangan ilmu politik. Namun demikian Wilson juga mengusulkan adanya
pemisahan antara disiplin ilmu politik dan administrasi. Gagasan Wilson
inilah yang akhirnya dikenal sebagai dikotomi politik-administrasi.
Masih menurut Wilson, ilmu adinistrasi terutama sangat berkaitan dengan
dua hal yaitu “Apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah dengan baik” dan
“Bagaimana pemerintah melakukannya dengan efektif dan efisien.
Berdasarkan gagasan Woodrow Wilson
di atas, dapat kita yakini bahwa peran administrasi publik dapat
menjadi positif dalam mengawal proses demokratisasi suatu Negara agar
sampai pada tujuan yang dicita-citakan. Hal ini karena administrasi
publik pada dasarnya berkaitan dengan masalah bagaimana menetapkan to do
the right thing dan juga to do the things right. Dengan kata lain tidak
saja administrasi publik berkaitan dengan cara-cara yang efisien dalam
melakukan proses demokratisasi namun juga memiliki kemampuan dalam
menetapkan tujuan proses demokratisasi itu sendiri, terutama berupa
bentuk penyelenggaraan pelayanan publik yang efektif sebagai perwujudan
dari penjaminan hak-hak konstitusional yang menjadi milik semua warga
negara.
Masalah saat ini adalah
apakah mungkin para administrator publik mau menjadi tumpuan dalam
proses demokratisasi. Jawaban empirik yang diberikan untuk menjawab
pertanyaan tersebut memiliki dua versi. Peran para administrator
publkik, dalam suatu situasi dalam menyelesaikan bermacam-macam masalah
yang berurusan dengan proses demokratisasi cukup signifikan. Sebagai
contoh, di Taiwan dan beberapa
Negara berkembang lainnya pemerintah berurusan dengan berbagai masalah
dilematis tentang bagaimana merekonsiliasi pertentangan yang terjadi
antara industrialisasi, kultur demokrasi baru dan budaya tradisional
sebagai usaha Negara untuk mengembangkan ekonomi. Untuk mengatasi
masalah tersebut, para ahli administrasi publik berperan membantu para
pengambil keputusan di Negara Taiwan untuk mengatasi reformasi
administrasi yang cukup rumit dengan cara pendekatan perencanaan yang
strategis.
O’toole pada tahun 1997 membuat kesimpulan mengenai peran para
administrator publik tersebut bahwa administrasi yang berkembang sampai
saat ini sangat berperan positif dalam proses demokratisasi karena sudah
tidak lagi terlalu paroksial dan hirarkis melainkan lebih mirip sebuah
jaringan kerja atau network. Adanya kecenderungan ini menimbulkan
implikasi yang sangat positif dan penting bagi perkembangan demokrasi
termasuk di dalamnya tanggung jawab yang dinamis terhadap pemenuhan
preferensi publik, kepentingan publik dan perluasan liberalisasi publik.
Administrasi publik yang memiliki bentuk jaringan ini mampu mengatasi
persoalan menuju pengelolaan yang demokratis sehingga dapat membuka
peluang memperkuat pemerintahan yang sangat bergantung pada nilai-nlai
serta tindakan-tindakan administrasi publik. Hal-hal tersebut
disampaikan oleh O’tool untuk mengenang Dwight
Waljo yang pernah pula menyampaikan bahwa apabila administrasi
merupakan inti pemerintahan maka teori demokrasi yang ada harus mencakup
administrasi.
Pada situasi yang lain, untuk menjadi katalisator
proses administrasi , administrasi publik tidak dapat diharapkan.
Seperti juga di tempat lain, di Negara-negara Afrika sub-sahara
ketika rezim militer telah menguasai pemerintahan, mereka menjalankan
pemerintahan itu dengan komando diantaranya melumpuhkan lembaga-lembaga
legislative dan memerintah dengan komando. Akibatnya bagi warga Negara
tidak ada saluran institusi politik pada proses pengambilan
keputusan.Biasanya penguasa militer mendapatkan masukan bagi proses
perumusan serta pengambilan keputusan dengan cara memasukkan elit
politik sipil. Ini dilakukan sebagai tanggapan terhadap tuntutan
transisi pada pihak sipil serta sebagai metode politik untuk menjalankan
proses sipilisasi rezim militer.
Berdasarkan pengalaman empiris, keterlibatan pihak
sipil dalam suatu rezim militer adalah suatu petunjuk bahwa rezim itu
akan mengikuti aturan-aturan militer dan bukan kebalikannya. Dalam
konteks semacam ini administrasi publik menjadi tidak kondusif dalam
proses kristalisasi demokrasi namun malah berbalik menjadi katalisator
bagi alat melanggengkan kekuasaan pemerintahan lama yang bersifat
otoriter. Reformasi politik yang ada sampai saat ini dalam banyak hal
tampak sekali lagi berada dalam jalur yang benar. Namun diperlukan
kesabaran untuk bertahan dan konsisten dalam melakukan langkah-langkah
yang sistematik yang dibutuhkan. Di Indonesia
proses demokratisasi tak hanya diuji melalui adanya pemilihan pemimpin
Negara secara langsung tetapi juga mendapat tantangan agar mampu keluar
dari berbagai persoalan supaya dapat memenangkan kompetisi dengan
bangsa-bangsa lain.
Berdasarkan yang telah disampaikan di atas, asal
memenuhi persyaratan tertentu administrasi publik dapat bertempat di
jantung gerakan demokratisasi politik. Ketiga persyaratan itu yang
pertama adalah mampu menjalankan perencanaan strategis
yang bersifat menyeluruh sebagaimana yang dilakukan di Taiwan
sebagaimana yang disampaikan Sun dan Gargan. Syarat kedua memiliki
struktur organisasi yang tidak terlalu paroksial dan hirarkis
sebagaimana yang dikemukakan O’toole. Ketiga, terbebas dari pendekatan
serta kultur materialistik dalam menjalankan pelayanan publik. Indonesia
dalam hal perencanaan strategis memiliki pengalaman serta insititusi
perencanaan seperti Bappeda di tingkat daerah dan Bappenas di tingkat
nasional. Yang perlu dilakukan adalah reposisi serta revitalisasi
fungsi-fungsi institusional yang dibuat sejalan dengan konteks demokrasi
yang diinginkan. Mekanisme perencanaan yang bersifat bottom-up
seharusnya terus dilakukan bukan hanya untuk mencari legitimasi serta
sekedar basa-basi. Bagi kedua syarat terakhir yaitu kultur birokrasi dan
struktur masih memerlukan ketekunan dan kesabaran untuk melakukan
perubahan secara gradual untuk mengurangi atau bahkan menghindari biaya
ekonomi, sosial dan politik yang tinggi. Pembicaraan mengenai reformasi
administrasi dalam hubungan ini tetap memiliki keterkaitan. Dari sini
muncul pertanyaan yang berikutnya yaitu reformasi ke arah manakah yang
dikehendaki?
Apa yang disampaikan di atas minimal
merupakan sebuah petunjuk mengenai ke arah mana reformasi administrasi
publik Indonesia harus menuju. Pada awal tahun 90-an suatu gerakan
reformasi publik yang sempat menjadi popular tampil dalam kemasan
reinventing government yang memiliki akar pada tradisi serta perspektif
New publik management yaitu kristalisasi dari praktik administrasi
publik yang ada di Amerika Serikat. Pendapat dari para pendukung gerakan
tersebut menyatakan bahwa institusi-institusi administrasi yang telah
dikembangkan dalam kerangka brokrasi model pengawasan dan komando telah
secara signifikan berubah selama abad
ke-20 namun harus tetap diubah. Birokrasi semacam itu tak lagi efektif
dan efisien bahkan telah ketinggalan zaman bila kita melihat tatanan
ekonomi politik dunia yang saat ini semakin mengglobal. Sebagai contoh,
brokrasi di Amerika oleh karena itu harus menjalankan reformasi
institusi administrasi publik agar dapat mempunyai karakter
kewirausahaan. Satu lagi pertanyaan kemudian muncul apakan administrasi
publik semacam itu dapat menjadi model bagi reformasi administrasi pubik
di Indonesia. Untuk mendapatkan jawabannya perlu kita menyimak lebih
teliti berbagai penelitian yang masih dilakukan mengenai reinventing
government ataupun reformasi birokrasi
Sumber : anitaarumsukma.wordpress.com/kumpulan-artikel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar